Terngiang kalimat-kalimat yang meluncur dari laki-laki itu satu persatu. Ia mendesah lama. Benar-benar kata-kata yang sungguh ia kenal. Kata-kata lelaki itu.
- * *
Sejak semula ia tahu, di antara ia dan lelaki itu ada rasa yang lebih dari sekedar teman bercerita. Tapi tetap ia tidak berani mengucapkan sepatah kata. Tentu saja, perempuan itu tersenyum, aku begitu terbelenggu dengan norma, sehingga kutelan saja semua asa. Ia memutuskan menjadi perempuan biasa, yang melakukan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Menunggu.
Dan menunggu sungguh membuat waktu begitu jemu. Tetap, perempuan itu masih melakukan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya.
Hingga tiba suatu masa, ketika menunggu menjadi sesuatu yang lama, tapi tak jua lelaki itu beranjak dari ruang ceritanya. Tidak juga ada kata berlebih atau sinyal berbeda. Semua masih sama.
Ia mulai lelah. Rasa itu kemudian menjadi lupa, terkikis oleh masa dan hilang menguap begitu saja.
Ia beranjak untuk melangkah. Dan memutuskan ruang ceritanya. Cerita lelaki itu dengan dia.
- * *
Perempuan itu terpekur. Kenapa baru datang saat ini?
Terngiang sekali lagi pertanyaan-pertanyaan yang seolah bertubi-tubi datang padanya.
Tidakkah kau rindu padaku?
Hatinya mencelos. Aku perempuan, haruskah begitu jelas memperlihatkan perasaanku?
Hanya Tuhan yang tahu berapa malam dia tergugu semenjak ia meninggalkan laki-laki itu di bandara.
Tidakkah kau merasa kehilangan aku selama ini.?
Ia menarik napas panjang. Sekali. Dua kali. Mencoba mengumpulkan kekuatan.
Perempuan itu memandang meja kayu di seberang tempat tidurnya. Beratus-ratus undangan berwarna merah muda dengan namanya tercetak dengan jelas. Siap untuk diedarkan.
Kau bertanya padaku arti kehilangan. Ia berbisik dalam hati “Bagaimana bisa aku merasa kehilangan jika sesungguhnya aku tidak pernah memiliki?
*Catatan N. Grasiaswati - April, 2011*
No comments:
Post a Comment
selamat menyematkan opini... :)