Hitungan di dunia tak pernah berjalan mundur
Aku pun bukannya semakin meremaja
Kantung mataku makin mengelam
Kulitku bertambah suram
Tapi aku hanya bisa menunggu
Tetangga bukannya tak gaduh
Hanya saja ku simpan telingaku
Berpura tak dengar
Berharap tak tahu segala
Tapi aku hanya bisa menunggu
Dan. . .
Nuraniku bukannya tak memberi tanda
Hanya saja hatiku belagak buta
Semua gelap baginya
Kecuali imaji masa depan itu
Tapi aku hanya bisa menunggu
Akhirnya, , ,
Bundaku mulai tak sabar
Telinganya muak dengar bisikan orang
Matanya pedas lihat lirikan menajam
Hatinya lelah
Aku yang jadi gunjingan
Maka sayang, , ,
Cukupkanlah sekian
Bawa aku bersamamu
atau palingkan saja mukamu
Jangan seperti ini
Jangan
Takdirku tak bisa menunggu
Dia siap berlari
dengan atau tanpamu
Sepatah akhir : Lelaki, kami wanita hanya bisa menanti. Kapan kalian siap bergerak. Tunggu apalagi. Jangan gantungkan masa depan kami seperti daging sapi di pasar. Sesungguhnya, kami tak ingin. Hanya saja, rasa ingin bertahan ini terlalu besar. Jangan buat ibu kami menangis, cukup kami. Bisa, kan?
** Sajak ini saya tujukan untuk seseorang di luar sana yang disebut orang perawan tua. Saya mengenalnya. Lelaki, dia punya. Harta, dia berlimpah. Jiwa berumah tangga, siap sejak dulu kala. Tapi sayang, lelaki pembawa hatinya ternyata cukup pengecut untuk bersama memilin bahagia. 30 mustahil mundur jadi 22, bukan?
No comments:
Post a Comment
selamat menyematkan opini... :)